Mar 22, 2010

KASIH SAYANG

Diam pada desiran angin yang menyentuh setiap garis wajah, perlahan siti menelusuri ingatan demi ingatan tentang kemarin yang berlalu dengan cepat seolah ombak yang bergulung ke tepi pantai dan kembali bebas ke laut lepas melanjutkan titah sang Raja. Wajah itu dibasahi gerimis, menghapus riasan make up tipis yang sedari tadi bertandang manis ketika mata lelaki memandangnya. Lalu lalang mereka hingga gerimis yang turun pada saat itu tidak sedikitpun mengurungkan niat siti untuk menerawang jauh dari tempatnya berpijak, meraih sobekan-sobekan kertas masa lalu, mengaturnya menjadi lembaran yang pernah ada untuk dikenang kembali dalam satu coretan nama ”restu”. Ya,lelaki itu bernama restu abimanyu. Lahir dari rahim ibunya dengan normal hingga waktu mempertemukan restu dengan siti pada satu takdir yang biasa. Hari itu matahari dengan egonya melintasi setiap bentuk rupa makhluk bumi, mempertemukan dua beda dalam satu takdir yang mengantar mereka pada ketika beralur maju dan mundur. Siti masih terpaku pada lintasan kisahnya dengan restu saat telingaanya tuli akan suara-suara bising kendaraan. Dia masih ingat dengan jelas betapa restu adalah satu dari sekian laki-laki yang bisa memudarkan pandangan dan ingatan hanya untuk satu alasan, inginnya memilih restu sebagai belahan jiwa yang tidak biasanya. Ya, takdir mereka adalah bersua, berkumpul dan meneruskan kisah mereka melalui jiwa-jiwa baru dari tangis bahagia, duka, hingga harapan masa depan. Waktu menunjukan senja akan berlari masuk ke peraduannya, membiarkan bulan menghiasi malam-malam pencari cinta. Siti masih di sana dengan bayangan rentetan cerita antara dirinya dan restu, hingga tangisan itu memecahkan kesunyian, beradu dengan suara jangkrik. bagai ketika yang menyadarkan siti akan cintanya yang berada jauh di belahan genggaman lain sang penguasa. Mereka sudah tidak lagi beriringan seperti kemarin, saat cinta itu membuktikan materi bukanlah segala-galanya melainkan hanya sedikit penting dari makna rasa yang sebenarnya. Makna yang mampu membuyarkan semua titah raja hanya dengan sekali teguk. Detik restu terkapar tak berdaya kembali menarik siti dalam lirih ketidakwajaran rasa yang harus tercabik-cabik oleh kekuasaan takdir dari lafadz kuun faya kuunu. Jiwanya kembali, jazadnya masih di sini hanya dalam hitungan menit, karena sebentar nanti restuku akan melebur bersama tanah layaknya makhluk-makhluk lainnya. Tangan itu selalu mengulur tanpa diminta, bahu kekarnya dengan rela menopang setiap berat masalah, senyumnya seakan tidak pernah berhenti merekah sekalipun ketika kita seharusnya menangis, cintanya adalah kekayaan yang tak akan pernah habis dimakan zaman, ikhlasnya menapaki waktu demi waktu mengajarkan hidup bukan hanya sebelum mati, kepergiannya adalah senyum yang hilang. Siti masih berkutat dengan detik-detik terakhir kebersamaannya dengan restu, saat anaknya dian menyeka air mata yang sempat tertahan dan akhirnya tidak terbendung. Sudahlah bunda, jangan bersedih!! Sebentar lagi magrib memanggil, sudah saatnya kita bergegas dan bercengkerama dengan ayah dalam doa ucap dian pada siti. Siti tersadar dari lamunannya setelah mendengar ucapan anaknya dian, mereka bergegas meninggalkan nisan yang terpampang nama restu mengejar waktu magrib. Siti percaya, restu akan selalu ada di setiap sujudnya, mencium keningnya setelah dua salam, dan menuntunnya membaca setiap keindahan ayat-ayat al-quraan.