Feb 16, 2012

BURU SELATAN

Tahun lalu tepatnya tanggal 15 Maret 2011 saya melakukan perjalanan dinas bersama teman-teman dari Jakarta ke Kec. Leksula Kab. Buru Selatan Prov. Maluku. Perjalanan dari Ambon menuju Kota Kecamatan Leksula memakan waktu ± 4 jam dengan Kapal Cepat dari Pelabuhan Slamet Riyadi Ambon.

Photobucket
Photobucket
Kapal yg kami tumpangi - Pelabuhan Slamet Riyadi Ambon

Perjalanan kesana adalah perjalanan pertama bagi saya dan teman-teman yang lain. Kata orang biasanya yang pertama itu yang akan selalu dikenang. Saat Kapal Cepat yang kami tumpangi tiba dan memasuki Pelabuhan Kota Kecamatan Leksula, adalah saat dimana saya dan teman-teman dari Jakarta dibuat terkagum-kagum karena melihat pemandangan di hadapan kami. Suasananya mirip Maya Bay, Phuket - Thailand tempat pembuatan film The Beach yang diperankan oleh Leonardo De Caprio. 

Photobucket
Photobucket
Pelabuhan Leksula

Photobucket
Leksula

Setelah bermalam di kota Kecamatan Leksula, esoknya kami melanjutkan perjalanan ke Desa Tifu dan desa-desa pedalaman/terpencil. Untuk mencapai Desa Tifu, alat transportasi yang kami gunakan adalah Perahu yang menggunakan mesin speed boat, dalam bahasa Maluku disebut “katinting” entah disebut apa dalam bahasa Indonesia… Perjalanan dari Leksula menuju Desa Tifu memakan waktu ±30 menit, sementara cuaca hari itu lumayan panas. Namun pemandangan selama perjalanan dari Leksula ke Desa Tifu membuat kami menikmati perjalanan walaupun di tengah teriknya matahari yang lagi sengat-sengatnya. Selain pemandangan yang indah, selama perjalanan kami juga disuguhi cerita-cerita menarik dari masyarakat setempat yang kami ajak sebagai penunjuk jalan ke Desa Tifu. Salah satu cerita yang menarik adalah kisah tentang Burung Garuda yang konon mengangkat kapal bahtera (kapal besar) beserta penumpang-penumpangnya ke atas bukit berbatu tepatnya di atas Desa Tifu. Menurut masyarakat Buru Selatan, hingga saat ini rangka kapal dan burung garuda masih bisa dilihat dan ditemukan jika kita mengunjungi bukit berbatu yang bisa dilihat dari Desa Tifu. Selain itu ada juga cerita tentang sebuah tempat wisata di Desa Mepa Kec. Leksula yang bernama “aer babunyi” atau dalam bahasa Indonesianya adalah air yang berbunyi/bersuara. Dinamakan “aer babunyi” karena konon airnya seolah bersuara. Sayangnya kami tidak sempat berkunjung ke tempat wisata “aer babunyi”, padahal perjalanan dari Desa Leksula ke “aer babunyi” hanya memakan waktu 10 menit lumayan dekat.

Photobucket
konon menurut masyarakat Leksula, batu ini sering berpindah

Photobucket
Perjalanan Menuju Desa Tifu

Photobucket
narsis itu penting coy...

Photobucket
Pertemuan air tawar dan air laut

Akhirnya setelah ±30 menit perjalanan, kami pun tiba di Desa Tifu. Desa ini disebut sebagai desa wisata sejarah, mungkin karena ada kaitannya dengan burung garuda yang diceritakan selama kami dalam perjalanan. Tifu merupakan sebuah desa kecil yang cantik dan indah, kami dibuat terpesona saat tiba disana.  Seolah sedang berada dalam lukisan yang hidup, sebuah lukisan dimana kami berada di dalamnya. Desa Tifu letaknya tersembunyi diantara hamparan pegunungan yang indah. Sekilas saat memasuki Desa Tifu terlihat seperti danau. Tifu adalah desa kecil dan merupakan desa persinggahan (atau bisa dikatakan sebagai desa pelabuhan) bagi masyarakat pedalaman yang akan pergi ke Kota Kecamatan Leksula. Di sana ada yang namanya hari pasar, yakni hari rabu dan hari sabtu. Pada hari-hari tersebut, masyarakat dari desa-desa pedalaman/terpencil turun ke pasar yang letaknya di kota Kecamatan Leksula baik untuk menjual hasil perkebunan mereka maupun sebaliknya untuk membeli persiapan kebutuhan-kebutuhan mereka. Kebetulan perjalanan kami ke Desa Tifu tepat hari rabu yang merupakan hari pasar.

Sungguh mengejutkan ketika saya melihat alat transportasi atau kendaraan yang mereka gunakan untuk turun ke Desa Tifu dan melanjutkan ke Leksula dengan menggunakan perahu. Ya alat transportasi yang digunakan adalah truk tronton (truk yang biasa digunakan untuk mengangkut kayu atau hasil logging), dan yang membuat saya terharu adalah melihat begitu banyaknya orang yang naik dan berdesak-desakan di dalam truk yang akan mengangkut mereka ke desa-desa mereka karena truk tersebut adalah truk subsidi dari perusahaan logging yang ada di sekitar wilayah tersebut. Gilanya lagi truknya hanya sekali bolak balik, menurunkan dan kembali akan membawa masyarakat pulang atau naik ke desa-desa mereka yang terletak di dataran tinggi (pedalaman). Nyesek lihat orang-orang itu berlomba naik ke atas truk karena takut tertinggal. Mereka  Saling berhimpitan, berdesak-desakan, malah ada yang jatuh namun sekuat mungkin bangun dan kembali berjuang untuk bisa naik truk. Seperti lirik lagu kebangsaan kita "Itulah Indonesia....".

Kami sempat menanyakan beberapa warga Desa Tifu soal truk tersebut, namun jawaban mereka “ya… mau gimana lagi, hanya satu truk dan walaupun kami berdesak-desakan namun kami cukup bersyukur karena truk tersebut adalah subsidi dari perusahaan logging yang diberikan gratis dan karena tidak ada lagi transportasi lain di sini, yang bisa kami gunakan. Hanya ada 2 motor milik masyarakat yang kadang dijadikan ojek, itupun sekali jalan Rp 300.000,- karena jarak tempuh yang jauh”. Nah bagaimana jika ada yang sakit dan harus segera dibawa ke rumah sakit? Salah seorang warga menjawab “kalaupun ada yang sakit parah, kami hanya bisa berdoa dan bergantung pada pengobatan secara tradisional”. Nyesek banget dengarnya… :'(

Photobucket
Photobucket
Desa Tifu

Photobucket
Nice Tifu

Photobucket
Truk angkutan masyarakat pedalaman

Photobucket
berhenti sebentar utk Mengangkut masyarakat pedalaman yang berjalan kaki

Tujuan perjalanan dinas kami adalah ke Desa Waikatin (salah satu desa yang letaknya di pedalaman) yang jarak tempuhnya memakan waktu sekitar 2-3 jam dari Desa Tifu. Karena truknya penuh, kami kemudian menyewa mobil pick up (double garda) milik seorang wirausahawan dari Desa Ewiri yang tidak jauh dari Desa Tifu. Kejutan yang sesungguhnya adalah perjalanan menuju Desa Waikatin, pemandangan sepanjang perjalanan benar-benar membuat kami melongo dalam diam. Jalan logging yang belum diaspal, bukan lagi masalah bagi perjalanan kami karena semua itu terbayar dengan pemandangan hamparan rumput yang hijau dan luas. Saking terpesona dengan pemandangan selama perjalanan ke Desa Waikatin, kami tidak sempat mengambil gambar pemandangan yang kami lihat, dan hal itulah yang sampai sekarang membuat saya sangat menyesal. Buat teman-teman yang suka jalan-jalan atau kebetulan bepergian dalam rangka dinas, pasti sependapat dengan saya kalau dokumentasi atau pengambilan gambar selama perjalanan itu sangat penting. Jalan-jalan tanpa dokumentasi itu sama saja bohong, imbasnya bikin penasaran karena ingatan itu tidak sehebat foto.

Photobucket
Jalan logging yg belum diaspal

Photobucket
Perjalanan menuju desa-desa pedalaman

Saat urusan kami di Desa Waikatin selesai, kami pun kembali ke Desa Tifu dan melanjutkan perjalanan ke Namrole Kota Kab. Buru Selatan. Berharap saya bisa mengambil gambar pemandangan selama perjalanan turun ke Desa Tifu, namun apa daya saat itu hujan deras. Kami semua duduk di belakang mobil pick up (double garda), sementara semua tas di depan bersama supir. Tidak ada yang mau cameranya basah, sehingga semua camera diamankan bersama supir. Alhasil tidak ada pemotretan atau mengabadikan panorama yang kami lihat. Pengalaman perjalanan dinas yang berubah menjadi petualangan, melewati jalan-jalan yang riskan, bertemu dengan komunitas adat terpencil dan menikmati pemandangan yang indah, sebuah “green land” di Selatan Pulau Buru, dan kami menyebutnya Nusa Indah. Pada akhirnya saya ingin menyampaikan buat para pembaca bahwa tanah Maluku itu indah untuk dikunjungi, karena itu jangan dulu mati sebelum kalian ke tanah kami MALUKU. :)

Photobucket
Persiapan perjalanan menuju namrole

Photobucket

Photobucket
Menikmati indahnya sunset Namrole

Sebagai penutup, hak masyarakat adat dan hak atas pembangunan adalah kewajiban negara yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh negara untuk masyarakat atau Warga Negara Indonesia dimanapun berada. Dengan begitu, komunitas-komunitas adat di pedalaman atau daerah-daerah terpencil berhak atas taraf hidup yang layak.


4 comments:

  1. salam kenal mbak..
    saya sangat tertarik dengan informasi mengenai kecamatan leksula..
    saya ingin menanyakan apakah desa-desa di kecamatan tersebut telah dilengkapi dengan fasilitas aliran listrik yang memadai dan jaringan komunikasi (telkom ataupun telepon selular)?
    Terima kasih atas informasi yang diberikan.

    ReplyDelete
  2. salam kenal mbak engel, untuk kota kecamatan leksula sudah ada aliran listrik namun listriknya nyala hanya di waktu malam hari. Sedangkan di daerah pedalaman, belum ada listrik yang sampai disana, kalaupun ada itu bantuan dari perusahan loggin.

    ReplyDelete
  3. salam kenal yahh..
    yg saya tau foto di atas urutan 4-5 lokasinya bkn Leksula tetapi Namrole..
    terima kasih salam jepret.

    ReplyDelete
  4. Slm knal... Sy mau tau info tentangkota namrole, akses utk bisa kesana bgmn

    ReplyDelete