MEMANUSIAKAN MANUSIA
Kata pelayanan itu
mungkin bisa diartikan sebagai “memanusiakan manusia” jika kita melihat dari
konteks Hak Asasi Manusia khususnya terkait dengan hak atas kesehatan (pelayanan
kesehatan). Beberapa hari yang lalu saya menyimak percakapan menarik dua orang
ibu di dalam Angkot rute Latuhalat. Percakapan yang menarik tentang bagaimana
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Swasta, tentang penggunaaan
Askes, penggunaan Keterangan Tidak Mampu dan sebagainya. Ya, semacam
perbandingan pelayanan kesehatan. Seorang ibu mengatakan bahwa jika ada
keluarganya yang sakit, beliau lebih memilih dirawat di Rumah Sakit Swasta dibanding
Rumah Sakit Umum. Kenapa? Karena menurut beliau pelayanan di Rumah Sakit Swasta
jauh lebih baik dibanding Rumah Sakit Umum. “Walaupun mahal setidaknya kita merasa benar-benar dilayani”, kata
seorang ibu berkacamata.
“Di Rumah Sakit Umum hanya menganggap orang sakit itu manusia, apabila
orang sakit tersebut memiliki uang. Hal itu tidak berlaku bagi orang sakit yang
menggunakan Kartu Askes, Keterangan Tidak Mampu dan sebagainya… kita
diperlakukan seperti binatang! Sekalipun kita dalam keadaan yang sekarat dan butuh
penanganan cepat!” kata seorang ibu penjual ikan dengan lantang, seolah
beliau sedang marah dan menumpahkan keluh kesah beliau.
“iya,
kita orang-orang yang tidak mampu ini selalu menerima pelayanan yang
setengah-setengah. Apalagi kalau kita dirawat dengan menggunakan Kartu Miskin
atau Keterangan Tidak Mampu, birokrasinya ribet dan tidak mengutamakan
keselamatan atau kesehatan pasien. Bayangkan saja, anak saya saat itu mau
melahirkan tapi dibiarkan selama beberapa jam tanpa penanganan dengan alasan
kita harus mengurus administrasinya dulu. Saat itu anak saya hampir mati, karena
air ketubannya sudah pecah” tegas ibu berkacamata.
“Mungkin
kita TIDAK BOLEH SAKIT ibu”, teriak supir Angkot
dari depan kepada dua orang ibu tersebut sambil tertawa dan diikuti oleh
beberapa penumpang lainnya yang merasa lucu dengan pernyataan sang supir.
“Bapak
supir, kalau kita tidak boleh sakit berarti kita harus bagaimana? Orang kaya
saja sakit, apalagi kita orang miskin?!” timpal ibu penjual
ikan dengan nada bercanda kepada supir Angkot.
Menyimak percakapan
panas di dalam Angkot sore itu, membuat saya teringat buku yang pernah saya baca dengan judul ORANG
MISKIN DILARANG SAKIT yang ditulis oleh Eko Prasetyo dan diterbitkan pada tahun
2004. Buku tersebut secara lugas membahas buruknya kondisi dan sistem kesehatan
di Indonesia. Kondisi kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang buruk
membuat kesehatan di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat mahal. Harga obat
dan rumah sakit membumbung tinggi tanpa adanya kontrol. Adanya penyakit malah
membuat banyak pihak yang terkait dengan badan-badan kesehatan mendapat untung.
Pelayanan kesehatan didasarkan atas seberapa tebal kantong kita membayar demi
kesembuhan. Selain biaya pengobatan yang tinggi dunia kesehatan kita juga
diperburuk dengan beredarnya obat-obat palsu, selain itu penyakit juga
dijadikan sebagai alat pelindung bagi para koruptor yang akan menjalani
persidangan hingga luput dari tuntutan jaksa.
Di dalam buku
disebutkan bahwa yang menjadi korban keburukan sistem pelayanan kesehatan adalah
orang miskin. Mereka tidak pernah mendapat layanan kesehatan yang maksimal
sementara orang-orang berduit dengan mudahnya menikmati fasilitas pengobatan
yang terbaik di rumah sakit internasional dengan fasilitas bak hotel
berbintang. Buku tersebut berisi empat bagian besar yang terdiri dari Kisah
Negeri Penuh Wabah, Sakit Yang Miskin & Yang Kaya, Dunia Medis Yang Kapitalis
& Kejam dan bab penutup yang berjudul Surat Untuk Para Pekerja Kesehatan. Ketika
membaca buku tersebut, saya semakin paham tentang betapa buruknya sistem
kesehatan di Indonesia yang tidak adil dan diskriminatif.
Jika seperti itu
wajah kesehatan di Negara ini, lalu siapa yang harus disalahkan dan bertanggung
jawab? Entahlah… Jawabannya mungkin ada pada HATI NURANI. Ada pada BAGAIMANA
MANUSIA MEMANUSIAKAN MANUSIA YANG LAIN. BUKAN KARENA JABATAN ATAU UANG, TAPI
KARENA KITA ADALAH MANUSIA. Hanya itu.
Comments
Post a Comment