Nov 11, 2013

MEMANUSIAKAN MANUSIA


Kata pelayanan itu mungkin bisa diartikan sebagai “memanusiakan manusia” jika kita melihat dari konteks Hak Asasi Manusia khususnya terkait dengan hak atas kesehatan (pelayanan kesehatan). Beberapa hari yang lalu saya menyimak percakapan menarik dua orang ibu di dalam Angkot rute Latuhalat. Percakapan yang menarik tentang bagaimana pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Swasta, tentang penggunaaan Askes, penggunaan Keterangan Tidak Mampu dan sebagainya. Ya, semacam perbandingan pelayanan kesehatan. Seorang ibu mengatakan bahwa jika ada keluarganya yang sakit, beliau lebih memilih dirawat di Rumah Sakit Swasta dibanding Rumah Sakit Umum. Kenapa? Karena menurut beliau pelayanan di Rumah Sakit Swasta jauh lebih baik dibanding Rumah Sakit Umum. “Walaupun mahal setidaknya kita merasa benar-benar dilayani”, kata seorang ibu berkacamata.

Di Rumah Sakit Umum hanya menganggap orang sakit itu manusia, apabila orang sakit tersebut memiliki uang. Hal itu tidak berlaku bagi orang sakit yang menggunakan Kartu Askes, Keterangan Tidak Mampu dan sebagainya… kita diperlakukan seperti binatang! Sekalipun kita dalam keadaan yang sekarat dan butuh penanganan cepat!” kata seorang ibu penjual ikan dengan lantang, seolah beliau sedang marah dan menumpahkan keluh kesah beliau.
   
“iya, kita orang-orang yang tidak mampu ini selalu menerima pelayanan yang setengah-setengah. Apalagi kalau kita dirawat dengan menggunakan Kartu Miskin atau Keterangan Tidak Mampu, birokrasinya ribet dan tidak mengutamakan keselamatan atau kesehatan pasien. Bayangkan saja, anak saya saat itu mau melahirkan tapi dibiarkan selama beberapa jam tanpa penanganan dengan alasan kita harus mengurus administrasinya dulu. Saat itu anak saya hampir mati, karena air ketubannya sudah pecah” tegas ibu berkacamata.

“Mungkin kita TIDAK BOLEH SAKIT ibu”, teriak supir Angkot dari depan kepada dua orang ibu tersebut sambil tertawa dan diikuti oleh beberapa penumpang lainnya yang merasa lucu dengan pernyataan sang supir.

“Bapak supir, kalau kita tidak boleh sakit berarti kita harus bagaimana? Orang kaya saja sakit, apalagi kita orang miskin?!” timpal ibu penjual ikan dengan nada bercanda kepada supir Angkot.
   
Menyimak percakapan panas di dalam Angkot sore itu, membuat saya teringat buku yang pernah saya baca dengan judul ORANG MISKIN DILARANG SAKIT yang ditulis oleh Eko Prasetyo dan diterbitkan pada tahun 2004. Buku tersebut secara lugas membahas buruknya kondisi dan sistem kesehatan di Indonesia. Kondisi kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang buruk membuat kesehatan di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat mahal. Harga obat dan rumah sakit membumbung tinggi tanpa adanya kontrol. Adanya penyakit malah membuat banyak pihak yang terkait dengan badan-badan kesehatan mendapat untung. Pelayanan kesehatan didasarkan atas seberapa tebal kantong kita membayar demi kesembuhan. Selain biaya pengobatan yang tinggi dunia kesehatan kita juga diperburuk dengan beredarnya obat-obat palsu, selain itu penyakit juga dijadikan sebagai alat pelindung bagi para koruptor yang akan menjalani persidangan hingga luput dari tuntutan jaksa.

Di dalam buku disebutkan bahwa yang menjadi korban keburukan sistem pelayanan kesehatan adalah orang miskin. Mereka tidak pernah mendapat layanan kesehatan yang maksimal sementara orang-orang berduit dengan mudahnya menikmati fasilitas pengobatan yang terbaik di rumah sakit internasional dengan fasilitas bak hotel berbintang. Buku tersebut berisi empat bagian besar yang terdiri dari Kisah Negeri Penuh Wabah, Sakit Yang Miskin & Yang Kaya, Dunia Medis Yang Kapitalis & Kejam dan bab penutup yang berjudul Surat Untuk Para Pekerja Kesehatan. Ketika membaca buku tersebut, saya semakin paham tentang betapa buruknya sistem kesehatan di Indonesia yang tidak adil dan diskriminatif. 

Jika seperti itu wajah kesehatan di Negara ini, lalu siapa yang harus disalahkan dan bertanggung jawab? Entahlah… Jawabannya mungkin ada pada HATI NURANI. Ada pada BAGAIMANA MANUSIA MEMANUSIAKAN MANUSIA YANG LAIN. BUKAN KARENA JABATAN ATAU UANG, TAPI KARENA KITA ADALAH MANUSIA. Hanya itu.
 


No comments:

Post a Comment