Sep 14, 2012

RESTU IBU


Mendengar 2 kata “restu ibu” kalian pasti bisa langsung mengerti tentang maksud atau makna kata tersebut. Ya... restu ibu seharusnya adalah restu ibu sesuai maknanya, namun anggap saja restu ibu yang dinamakan pemiliknya mempunyai maksud tersendiri yang dipakai sebagai nama toko tasnya. Tepat sekali, restu ibu yang saya maksud disini bukan restu ibu yang baru saja kalian pikirkan saat membaca judul tulisan ini, tapi restu ibu yang saya maksudkan adalah nama toko tas yang diberi nama "restu ibu" dimana toko tersebut  beralamat di Jalan Sam Ratulangi Ambon. Mereka sering menyebutnya Sevel Restu Ibu, alasannya biar terdengar gaul, atau hanya mereka saja yang bisa menjabarkan tentang penambahan sevel pada restu ibu (ahh saya akan banyak mengumbar brand disini). 

Event MTQ Nasional ke XXIV yang dilaksanakan di kota Ambon membuahkan pasar malam kuliner sebagai kebijakan dan strategi pemerintah kota untuk kelangsungan makan memakan dan tempat tongkrongan masyarakat kota Ambon maupuna tamu-tamu dari luar kota saat event MTQ digelar. Saya adalah satu diantara masyarakat yang memberi apresiasi dan bersyukur dengan adanya pasar malam kuliner di sepanjang Jalan Sam Ratulangi tersebut. Kenapa? Mungkin karena pasar malam kuliner adalah hal baru di Ambon, dan kebetulan saya suka nongkrong dan makan (abaikan). Hingga saat ini pasar malam kuliner masih terus hidup, walaupun minimnya apresiasi masyarakat yang berjualan disana dengan semakin sedikitnya tenda kuning yang berdiri di sepanjang Jalan Sam Ratulangi. Saya tidak tahu alasannya, tapi seharusnya hal itu menjadi perhatian pemerintah kota sebagai sebuah komitmen!

Masih jelas di ingatan saat awal dibuka, pasar malam kuliner begitu ramai dengan berbagai jenis makanan dan itu bisa dilihat dari maraknya tenda kuning yang berdiri dan berbaris rapi di depan Amplaz (Ambon Plaza). Satu factor kenapa tenda kuning yang berdiri sekarang semakin sedikit adalah kurangnnya pengunjung, jika hukum ekonomi diberlakukan maka sudah seharusnya pasar malam kuliner ditutup saja, tapi tidak demikian adanya. Pemerintah kota seharusnya mempunyai strategi untuk menarik pengunjung pasar malam kuliner sebagai komitmen ketika membuka pasar malam kuliner, iya gak sih??! hal ini juga untuk menghindari adanya anggapan "panas-panas tahi ayam" (yang artinya semacam musiman). Ahh sudahlah… mari kita meninggalkan komitmen pemerintah kota Ambon dan kembali kepada restu ibu, dimana pada hakikatnya semua manusia itu membutuhkan restu ibu untuk perihal apapun di dunia ini. 

Toko restu ibu kebetulan berada di lokasi yang sama dengan pasar malam kuliner, pasar kuliner yang hanya dibuka pada malam hari dan tentu saja saat itu toko-toko di sepanjang Jalan Sam Ratulangi sudah ditutup dan yang tinggal hanya pemandangan pintu pertokoan, deretan papan nama toko diantaranya “restu ibu”, trotoar, dan mereka. Entah berawal dari mana, mereka mulai menjadikan pintu toko restu ibu sebagai sandaran dan tempat tongkrongan yang bagi mereka setara dengan sevel (seven eleven = sebuah tempat gaul di Jakarta). Dari situlah restu ibu kemudian disebut juga dengan sevel restu ibu hingga sekarang. 

Sejak awal yang waktunya tidak jelas, mereka yang mengaku sebagai orang muda Ambon dan tergabung dalam berbagai komunitas kreatif yang menempatkan sevel restu ibu semacam bengkel gado-gado, bengkel yang isinya dipenuhi oleh obrolan ngalur ngidul mulai dari cewek-cewek manis, bagaimana menaklukan hati cewek, politik ayam jago, birokrasi kepala lutut kaki, isu-isu yang berkembang semisal rok mini hingga supir angkot, social media, music, film, fotografi, ide-ide kreativitas, impian, dan sebagainya… bahkan sampah pun tidak luput dari topic obrolan mereka. Jika pintu toko restu ibu bisa berbicara, maka pastinya dia akan berkata seperti ini “setiap malam hingga dini hari, mereka selalu ada, mereka tertawa, gaduh, hingga terkesan mereka sedang saling marah memarahi. Tapi aku selalu diam membisu menyimak mereka yang begitu bergairah dengan seribu seratus ide dan impian yang jika dipikir-pikir belum tentu semuanya bisa dilakukan. Hal positif dari mereka hanyalah gairah dan keberanian mereka untuk bermimpi dan melukiskan semua ide-ide mereka di bawah malam dan disaksikan oleh papan nama restu ibu. Namun dari semuanya, ternyata mereka benar-benar mendapatkan restu ibu. Akhir-akhir ini mereka membuktikan bahwa perjumpaan di bawah restu ibu ternyata membuahkan produktifitas lewat ide-ide yang mereka tuangkan dalam obrolan-obrolan tengah malam hingga dini hari”. 

Di bawah restu ibu mereka bukan hanya orang muda yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda, namun mereka juga telah mengukuhkan diri mereka sebagai sahabat, saudara, kakak, adik dan yang lebih penting mereka adalah sebuah keluarga. Pengukuhan itu bukan lewat perkataan ataupun tulisan, tapi lewat semangat bergerak, bukan untuk mereka tapi untuk sebuah tanah yang mereka sebut MALUKU.

Pada akhirnya saya harus mengucapkan terima kasih kepada diri saya karena menjadi bagian dari mereka, bagian dari semangat mereka, bagian dari berbagai persoalan mereka, dan bagian dari impian bersama dengan mereka. Terima kasih juga untuk dua kata yang bisu, dua kata (Restu Ibu) yang sesungguhnya telah memfasilitasi mereka dalam obrolan ngalur ngidul mereka. Jika ada yang bertanya siapa mereka? Maka saya akan menjawab “mereka adalah keluarga kedua saya”. 

*untuk teman-teman komunitas
tetaplah menjadi hari ini, dan menjadikan esok layaknya hari ini.
karena hari ini adalah semangat yang tidak harus hilang.
tapi hari ini adalah kita dan rentetan kisah yang akan menjadi sejarah kita masing-masing!

Go Go Go #AmbonFest 
 


No comments:

Post a Comment