Nov 10, 2010

AKU & IBUKU


Aku tertidur pulas ketika Ibuku dengan suara lembutnya membangunkan aku dari mimpi yang seketika lenyap pada sadar yang dikemas oleh cinta Ibu dengan suara kasihnya. “sayang, sudah waktunya shalat subuh” ohhhhh begitu beratnya raga ini bangkit dan menggapai kesadaran penuh untuk suatu kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan langkah dan mata yang berat, aku meraih semangat seorang hamba yang berlomba-lomba menunjukan keseriusannya terhadap imannya. Sejak kecil kita diajarkan untuk selalu ingat darimana kita berasal, dan betapa kecilnya kita hingga tidak ada satu ruang pun di dunia ini untuk kita selain atas kehendaknya. Subhanallah… kini semua seperti kebiasaan yang mendarah daging, seolah menjadi napas dan pakaian kita sehari-hari walaupun kadang setan-setan itu berhasil atas bujuk rayunya. Ibu sudah memakai mukenanya dengan senyum dan raut mukanya yang terlihat tegar, Ibu mengajaku untuk secepat mungkin mempersiapkan diri sebelum kita malas karena bujuk rayu setan. Ini rahasia imanku, namanya shalat (subuh). Di dalamnya terdapat banyak cerita, harapan, hingga puji-pujian yang tak terhingga. Disini semua menjadi indah, hanya hening dan kedamaian yang ada. Disini aku mempertaruhkan khusyuku untuk mendapatkan ijabah dariNYA, hanya dengan sepenuh hati dan ikhlas. Disini aku memeluk Ayah dan Ibuku dalam dekapan doa, dekapan yang Insya Allah tidak akan melepaskan kami sekalipun api neraka itu menjamah jazad dan jiwa-jiwa kami. Disini pertemuanku dengan alm. Ayah dalam munajat kasihku. Disini pengakuan aku sebagai pendosa tertumpah dalam wadah ampun dan Kabul. Disini kelak akan menjadi pertimbangan di tempat manakah pantasku berdiri dan lepas dari amarahNYA. Disini semua syair-syair indah mengalun, menimbulkan rasa cinta dan menari bersama irama firman Tuhan. Disini aku menjadi aku, tanpa sehelai benangpun melekat, kecuali jubah imanku. Akhirnya kami keluar dari keindahan subuh, dengan mencium tangan Ibuku yang wanginya hanya bisa dirasa oleh para pecinta seakan aku terlahir kembali dari rahimnya. Saat itu Ibu menangis, namun raut wajahnya masih terlihat tegar. “apa yang kamu tangisi wahai alasanku tersenyum (ibu)?” jawabnya “Ibu hanya membayangkan jika suatu saat nanti ibu terbangun pada waktu subuh dan tidak menemukan kamu untuk dibangunkan, karena kamu sudah berada di rumah yang lain dengan hidup yang baru”. Saat mendengar perkataan ibu, tak kuasa isak tangisku tertumpah di atas sajadah merah. “ooohhh ibu, aku mencintaimu lebih dari semua laki-laki di dunia ini. aku tidak menginginkan hidup yang baru jika tanpa Ibu” kami berpelukan dengan erat seolah perekat keras yang tidak rela dilepaskan oleh maut sekalipun.

No comments:

Post a Comment